Contoh Penerapan Model Pembelajaran Jigsaw untuk Pembelajaran Cerita Anak
PENGHIMPUN INFORMASI BERBAGI SECERCA ILMU DAN SEGENGGAM PENGETAHUAN
Minggu, 16 November 2014
Rabu, 29 Oktober 2014
Sastra
Anak
A. Hakikat
Sastra Anak
Sastra
mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra juga menawarkan
berbagai bentuk kisah yang merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu. Apalagi
pembacanya adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan menerima segala
macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak. Sebagai karya
sastra tentulah berusaha menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, mempertahankan,
serta menyebarluaskannya termasuk kepada anak-anak.
Sesuai
dengan sasaran pembacanya, sastra anak dituntut untuk dikemas dalam bentuk yang
berbeda dari sastra orang dewasa hingga dapat diterima anak dan dipahami mereka
dengan baik. Sastra anak merupakan pembayangan atau pelukisan kehidupan anak
yang imajinatif ke dalam bentuk struktur bahasa anak. Sastra anak merupakan
sastra yang ditujukan untuk anak, bukan sastra tentang anak. Sastra tentang
anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra untuk anak
sudah tentu sengaja dan disesuaikan untuk anak-anak selaku pembacanya. (Puryanto,
2008: 2)
Sastra
anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan
berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia
antara 6-13 tahun. Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi
sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta
menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat
tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan
kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi
hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang
membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga
menuntun kecerdasan emosinya. (Wahidin, 2009)
Menurut
Hunt (dalam Witakania, 2008: 8) mendefinisikan sastra anak sebagai
buku bacaan yang dibaca oleh, yang secara khusus cocok untuk, dan yang secara
khusus pula memuaskan sekelompok anggota yang kini disebut anak. Jadi sastra
anak adalah buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dibaca anak-anak. Isi buku
tersebut harus sesuai dengan minat dan dunia anak-anak, sesuai dengan tingkat
perkembangan emosional dan intelektual anak, sehingga dapat memuaskan mereka.
Tarigan
(1995: 5) mengakatakan bahwa buku anak-anak adalah buku yang menempatkan mata
anak-anak sebagai pengamat utama, mata anak-anak sebagai fokusnya. Sastra anak
adalah sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak masa kini,
yang dapat dilihat dan dipahami melalui mata anak-anak.
Sifat
sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur
imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus
sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan
bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai
dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam
kehidupan. (Wahidin, 2009)
Perkembangan
anak akan berjalan wajar dan sesuai dengan periodenya bila disugui bahan bacaan
yang sesuai pula. Sastra yang akan dikonsumsikan bagi anak harus mengandung
tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting
yang ada di sekitar mereka atau ada di dunia mereka, tokoh dan penokohan
mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu
mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih
dalam jangkauan anak. (Puryanto, 2008: 2)
Sarumpaet
(dalam Puryanto, 2008: 3) mengatakan persoalan-persoalan yang menyangkut
masalah seks, cinta yang erotis, kebencian, kekerasan dan prasangka, serta
masalah hidup mati tidak didapati sebagai tema dalam bacaan anak. Begitu pula
pembicaraan mengenai perceraian, penggunaan obat terlarang, ataupun perkosaan
merupakan hal yang dihindari dalam bacaan anak. Artinya, tema-tema yang disebut
tidaklah perlu dikonsumsi oleh anak. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya
waktu, tema-tema bacaan anak pun berkembang dan semakin bervariasi. Jenis-jenis
bacaan anak misalnya, pada sepuluh tahun yang lalu sangat sedikit atau bahkan
tidak ada, sangat mungkin telah hadir sebagai bacaan yang populer tahun-tahun
belakangan ini.
Jenis
sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam
sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak
dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu: (1) sastra anak yang mengetengahkan tokoh
utama benda mati, (2) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk
hidup selain manusia, dan (3) sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang
berasal dari manusia itu sendiri. (Wahidin, 2008)
Ditinjau
dari sasaran pembacanya, sastra anak dapat dibedakan antara sastra anak untuk
sasaran pembaca kelas awal, menengah, dan kelas akhir atau kelas tinggi. Sastra
anak secara umum meliputi (1) buku bergambar, (2) cerita rakyat, baik berupa
cerita binatang, dongeng, legenda, maupun mite, (3) fiksi sejarah, (4) fiksi
realistik, (5) fiksi ilmiah, (6) cerita fantasi, dan (7) biografi. Selain
berupa cerita, sastra anak juga berupa puisi yang lebih banyak menggambarkan
keindahan paduan bunyi kebahasaan, pilihan kata dan ungkapan, sementara isinya
berupa ungkapan perasaan, gagasan, penggambaran obyek ataupun peristiwa yang
sesuai dengan tingkat perkembangan anak. (Saryono dalam Puryanto, 2008: 3).
B.
Ciri Sastra Anak
Menurut
Puryanto (2008: 7) secara garis besar, ciri dan syarat sastra anak adalah:
1. Cerita anak mengandung tema yang
mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelit-belit, menggunakan setting yang ada
di sekitar atau ada di dunia anak, tokoh dan penokohan mengandung peneladanan
yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu mengembangkan bahasa anak,
sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam jangkauan anak.
2. Puisi anak mengandung tema yang menyentuh,
ritme yang meriangkan anak, tidak terlalu panjang, ada rima dan bunyi yang
serasi dan indah, serta isinya bisa menambah wawasan pikiran anak.
3. Buku anak-anak biasanya mencerminkan
masalah-masalah masa kini. Hal-hal yang dibaca oleh anak-anak dalam koran, yang
ditontonnya dilayar televisi dan di bioskop, cenderung pada masalah-masalah
masa kini. Bahkan yang dialaminya di rumah pun adalah situasi masa kini.
(Tarigan, 1995: 5)
Daftar Pustaka
Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-dasar
Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Witakania. 2008. Aspek
Psikopedagogik dalam Sastra Anak.
Puryanto, Edi. 2008. Konsumsi
Anak dalam Teks Sastra di Sekolah. Makalah dalam Konferensi Internasional
Kesusastraan XIX HISKI.
Wahidin. 2009. Hakikat Sastra
Anak. http: makalahkumakalahmu.com diunduh 11 September 2009
Perbandingan antara Sastra Anak dan Sastra Dewasa
Definisi sastra secara umum yang
disampaikan oleh Daiches (1964) dalam bukuMembaca Sastra mengacu
pada Aristoteles yang melihat sastra sebagai “suatu karya yang menyampaikan
suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”
yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang
memperkaya wawasan pembacanya. Berdasarkan definisi tersebut, inti dari karya
sastra adalah memberikan wawasan pada pembacanya. Dalam hal ini, pembaca karya
sastra terdiri dari beragam usia. Penggolongan usia pembaca karya tersebut
dapat dilihat berdasarkan golongan anak kecil, remaja, dan dewasa.
Penulis akan membandingkan letak
perbedaan antara karya sastra anak dan sastra dewasa. Secara teoretis, sastra
anak adalah “sastra yang dibaca anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan
anggota dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang
dewasa.” (Davis 1967 dalam Sarumpaet 1976:23). Dengan demikian, sastra anak
dapat disebut sebagai sastra yang pantas dibaca oleh anak-anak dengan
didasarkan pada unsur intrinsik sastra. Sementara itu, sastra dewasa berbanding
terbalik dengan sastra anak. Sastra dewasa dibaca oleh orang-orang dewasa dan
penyajian penulisan sastra tersebut ditulis pula oleh orang dewasa. Sama dengan
sastra anak, sastra dewasa pun memiliki unsur intrinsik sastra.
Terdapat empat hal yang akan penulis
sampaikan mengenai perbedaan antara sastra anak dan sastra dewasa. Pertama,
sastra anak dari segi bahasa cerita yang dipakai adalah kalimat-kalimat yang
sederhana. Cerita dalam sastra anak umumnya memakai kalimat yang sederhana,
struktur gramatikal yang mudah, dan pemilihan diksi yang disesuaikan dengan
pemerolehan bahasa anak sehingga anak dapat mencerna kalimat-kalimat tersebut
dengan baik. Misalnya, dalam satu kalimat hanya terdiri dari beberapa kata dan
struktur gramatikal yang dipakai hanya subjek dan predikat. Sementara sastra
dewasa cenderung memakai bahasa yang rumit. Struktur gramatikal dan pemilihan
diksi yang dipakai lebih kompleks.
Kedua, dari segi kognisi. Sastra
anak hanya memberikan pengetahuan dan pengenalan dalam hal-hal tertentu. Sastra
anak memberikan pengetahuan dan pengenalan yang masih bersifat sederhana.
Artinya, anak-anak belum diperkenalkan dengan pengetahuan yang kompleks dalam
kehidupan. Misalnya, anak-anak diberikan pengetahuan dan pengenalan seputar
konsep angka, warna, dan bentuk. Sementara sastra dewasa memberikan pengetahuan
yang lebih kompleks seputar kehidupan. Di dalam sastra dewasa sudah terdapat
konflik, pengalaman, dan konsep kehidupan.
Ketiga, dari psikologis yang
terkandung. Dalam sastra anak mulai diperkenalkan cerita-cerita yang dapat
membuat anak-anak berkembang secara sosial. Melalui cerita, anak-anak dididik
dengan nilai-nilai moral yang baik dalam kehidupan. Anak-anak mulai diajarkan
untuk dapat mengerti bagaimana diri mereka sendiri dan kehidupan sosial yang
anak-anak jalani secara sederhana. Misalnya, cerita mengenai pertemanan
anak-anak di sekolah dan di rumah. Sementara sisi psikologis dalam sastra
dewasa umumnya mempersoalkan banyak hal, seperti perkembangan moral,
permasalahan jiwa, dan pemahaman psikologi sosial kehidupan.
Keempat, dari segi sosial cerita.
Sastra anak umumnya mengambil ide cerita yang berada di sekitar kehidupan
anak-anak, seperti dalam kehidupan keluarga dan sekolah. Sosial cerita yang
disampaikan seputar berbakti pada orangtua, bersahabat baik dengan teman, dan
dekat dengan guru. Dalam sastra anak belum disampaikan sosial cerita mengenai
seks, kekerasan, dan kehidupan masyarakat yang tabu untuk anak. Ide sosial
cerita tersebut hanya ada dalam sastra dewasa.
Dengan demikian, sastra anak dan
sastra dewasa memiliki perbedaan tergantung dari sudut pandang apa yang
dilihat. Pada intinya, sastra anak dan sastra dewasa memberikan pengetahuan
yang berbeda dan memiliki perbedaan tema. Tema yang dipakai sastra anak masih
sangat sederhana sementara tema dalam sastra dewasa telah mengambil berbagai
macam dimensi kehidupan.
Daftar pustaka
K. Toha Sarumpaet, Riris. 2010. Pedoman
Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Budianta, Melani dkk. 2008. Membaca Sastra:
Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Indonesiatera.
Sumber : http://sepasangkata.wordpress.com/2013/03/19/perbandingan-antara-sastra-anak-dan-sastra-dewasa/
Sabtu, 20 September 2014
Model Pembelajaran Jigsaw
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran
sastra ialah model pembelajaran jigsaw. Pembelajaran tipe jigsaw dilakukan
dengan cara membagi siswa ke dalam beberapa kelompok induk dan disebarkan ke
dalam beberapa kelompok ahli untuk kemudian kembali ke kelompok induk (Sukmasari,Laela,
2005:34). Dengan cara seperti itu, diharapkan siswa dapat melakukan kerja sama
dan saling bertukar serta saling melengkapi informasi yang diperoleh dalam
kelompok ahli kepada kelompok induknya.
Sukmasari (2005:35) menyatakan bahwa teknik Jigsaw menekankan pada aspek
kebersamaan dan kerja sama tim yang baik. Selain itu, penerapan teknik ini juga
akan menambah pengetahuan siswa secara langsung, karena ilmu baru mereka
diperoleh dari kegiatan yang melibatkan siswa sebagai objek pembelajaran. Penerapan
model Jigsaw sangat sesuai dengan lima unsur dalam “Cooperative Learning” yang
dikemukakan oleh Roger dan David Johnson (Sukmasari, Laela, 2005 : 30-31),
yaitu :
1.
Saling ketergantungan positif antar anggota kelompok ;
2.
Adanya tanggung jawab berdasarkan kebutuhan pribadi ;
3.
Adanya tatap muka antara murid dengan murid maupun antara guru dan murid
4.
Adanya komunikasi antar anggota ; dan
5.
Proses kelompok, merupakan proses perolehan jawaban permasalahan yang
dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.
Berdasarkan beberapa landasan tentang model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di
atas, penelitian tindakan kelas tentang sastra ini menggunakan model
pembelajaran tersebut. Salah satu alasan pemilihan model pembelajaran tersebut
adalah agar siswa terbiasa bekerja sama dan menemukan sendiri informasi yang
diperlukannya.
Pelaksanaan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Pembelajaran sastra
Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif diawali dengan segi
perencanaan pembelajaran, yaitu dengan menyusun sebuah persiapan mengajar atau
rencana pembelajaran. Setelah menyusun rencana pembelajaran secara tertulis,
guru menyiapkan materi bacaan yang berhubungan tentang sastra oleh
siswa serta menyusun sebuah lembar observasi untuk mengamati kinerja siswa
selama pembelajaran berlangsung. Langkah berikutnya, yaitu merencanakan
langkah-langkah pembelajaran yang ditempuh oleh guru dalam menyampaikan
materi sastra.
Langkah-langkah
pembelajaran kooperatif secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menyampaikan tujuan pembelajaran
yang akan dilaksanakan. Dengan cara ini, siswa akan terfokus pada proses
pembelajaran. Selain itu, guru juga perlu memotivasi siswa agar mengikuti pembelajaran
dengan baik. Hal ini diperlukan agar siswa memiliki dorongan positif dan
memiliki keinginan untuk menguasai materi pembelajaran dengan baik.
2.
Langkah selanjutnya yaitu penyampaian informasi sebagai gambaran awal materi
pelajaran yang akan disampaikan, sehingga siswa memiliki fokus perhatian yang
lebih spesifik terhadap pelajaran yang disampaikan. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara membacakan sumber pelajaran yang relevan.
3.
Guru mengorganisasikan siswa ke dalam beberapa kelompok belajar. Dalam langkah
ini, guru menjelaskan pada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar yang
baik dan membantu setiap kelompok belajar agar melakukan transisi secara
efisien.
4.
Setelah terbentuk beberapa kelompok belajar dan seluruh kelompok belajar telah
memahami cara kerja kelompok masing-masing, guru memberikan tugas kepada setiap
kelompok untuk membahas permasalahan yang harus dipecahkan bersama. Dalam
proses ini, guru membimbing setiap kelompok belajar agar dalam proses bekerja
secara kelompok dapat mencapai hasil yang optimal.
5.
Dalam tahap evaluasi, guru menugaskan tiap kelompok untuk mempresentasikan
hasil kerja kelompoknya. Presentasi kelompok dilakukan dengan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami oleh siswa itu sendiri. Dalam penyampaian hasil
kerja kelompok ini, guru memberikan kesempatan pada siswa yang lain untuk
menanggapi presentasi kelompok lainnya. Selain itu, guru mengajukan beberapa
pertanyaan yang memancing pemikiran siswa untuk melengkapi hasil kerja
kelompoknya.
6.
Setelah tiap kelompok mempresentasikan hasil kerjanya, guru melakukan
penilaian. Setelah diadakan penilaian, guru memberikan penghargaan (reward) kepada
tiap kelompok atas hasil kerja kelompok tersebut. Pemberian penghargaan ini
harus memperhatikan faktor keterbukaan dan memperhatikan efek dari penghargaan
tersebut. Dalam pemberian penghargaan ini, guru harus proporsional dan tidak
diperkenankan menjatuhkan mental anak didik. Fungsi dari pemberian penghargaan
ini untuk memotivasi siswa agar mampu bekerja kelompok dengan lebih baik.
7.
Setelah menganalisis hasil evaluasi dan memberikan penghargaan, guru merancang
pelaksanaan tindakan pembelajaran selanjutnya. Apabila hasil pembelajaran
dianggap belum memenuhi standar yang telah ditetapkan, guru perlu mengadakan
remidial, dan jika pembelajaran telah memenuhi standar yang diharapkan, guru
mengadakan pengayaan.
Proses pelaksanaan
pembelajaran identifikasi sastra dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut
a.
Siswa dibagi 4 kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 5 orang.
Kelompok ini dinamakan Kelompok Induk.
Kelompok
A Kelompok B
Kelompok C Kelompok D
b.
Setiap anggota kelompok diberi bagian materi tugas yang berbeda. Materi
ditentukan oleh guru sebanyak jumlah anggota tiap kelompok.
Dalam pembelajaran identifikasi sastra ini,
anggota dengan nomor 1 dalam tiap kelompok menentukan unsur intrisik cerita,
nomor 2 membuat puisi dengan bahasa sendiri nomor 3 menentukan cri-ciri dalam
puisi dan siswa nomor 4 mengubah puisi menjadi prosa.
c.
Anggota dari tiap kelompok yang memiliki nomor sama bertemu
dan membentuk Tim Ahli untuk mendiskusikan materi yang ditugaskan.
Tim Ahli
1 Tim Ahli 2
Tim Ahli 3 Tim Ahli
4 Tim Ahli 5
d. Setelah selesai
diskusi dalam tim ahli, tiap anggota kembali ke kelompok induk,
dan bergantian menyampaikan hasil diskusi kelompok ahli kepada teman satu tim,
dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh secara bergantian.
e. Tiap tim ahli
mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
f. Selama proses
pembelajaran, guru memberikan bimbingan.
g. Evaluasi.
h. Refleksi dan tindak lanjut
Langganan:
Postingan (Atom)